27 Mar 2024 05:10 - 4 menit membaca

DK PBB Setujui Resolusi Gencatan Senjata di Gaza, Hubungan Israel-AS di ujung tanduk?

Bagikan

Friksi.id, Jakarta Perdana Menteri (PM) Israel Benjamin Netanyahu telah menegaskan bahwa jika Amerika Serikat (AS) tidak memveto resolusi Dewan Keamanan (DK) PBB dalam pemungutan suara yang berlangsung pada Senin (25/3/2024) maka dia akan membatalkan kunjungan delegasi Israel ke AS. Faktanya, itu kejadian.

Resolusi DK PBB 2728 (2024) disetujui oleh 14 negara anggota, yang terdiri dari empat anggota tetap DK PBB dan 10 anggota tidak tetap DK PBB. AS memilih abstain.

Melansir situs web resmi PBB, Resolusi DK PBB 2728 (2024) yang digagas 10 negara anggota tidak tetap menuntut gencatan senjata segera selama bulan Ramadhan yang mengarah pada gencatan senjata yang berkelanjutan dan awet; pembebasan segera dan tanpa syarat seluruh sandera; jaminan akses kemanusiaan untuk memenuhi kebutuhan medis dan kebutuhan kemanusiaan lainnya; dan pencabutan semua hambatan terhadap bantuan kemanusiaan dalam skala besar, sejalan dengan hukum humaniter internasional dan Resolusi DK 2712 (2023) dan 2720 (2023).

“AS telah meninggalkan kebijakannya di PBB. Beberapa hari lalu, mereka mendukung resolusi DK yang mengaitkan seruan gencatan senjata dengan pembebasan sandera … Mengingat perubahan posisi AS, PM Netanyahu memutuskan bahwa delegasi akan tetap berada di Israel,” demikian pernyataan kantor PM Israel via platform X alias Twitter pada Senin.

Juru bicara keamanan nasional Gedung Putih John Kirby sangat menyayangkan respons Israel. Namun AS, kata Kirby, akan menyampaikan keprihatinannya dalam diskusi yang sedang berlangsung antar kedua pemerintah.

“Ini mengecewakan. Kami sangat kecewa karena mereka tidak jadi datang ke Washington, DC, untuk mengizinkan kami melakukan pembicaraan … tentang alternatif yang bisa dilakukan selain mereka mendatangi Rafah. Tidak ada yang berubah mengenai pandangan kami bahwa serangan darat besar-besaran ke Rafah adalah kesalahan besar,” ungkap Kirby.

Delegasi Israel dijadwalkan mengunjungi AS untuk membahas rencana operasi militer Israel ke Kota Rafah di Gaza Selatan, tempat di mana lebih dari 1 juta warga Palestina berlindung. AS telah berulang kali menyuarakan penentangannya atas rencana Israel itu.

Wakil Presiden (Wapres) Kamala Harris adalah pejabat tinggi AS lainnya yang memperingatkan Israel soal rencana serangan ke Rafah, yang berbatasan dengan Mesir.

“Kami telah menjelaskan dalam beberapa kali pembicaraan dan dengan segala cara bahwa setiap operasi militer besar di Rafah adalah kesalahan besar,” ujar Kamala kepada ABC’s This Week, seperti dikutip dari Al Jazeera.

“Saya telah mempelajari petanya, tidak ada tempat bagi orang-orang di sana untuk pergi. Dan sepengetahuan kami sekitar 1 juta orang di berada di Rafah karena mereka memang diminta mengungsi ke sana.”

Saat ditanya apakah akan ada konsekuensi dari AS jika rencana serangan terhadap Rafah berlanjut, Kamala menuturkan, “Saya tidak menyampingkan (opsi) apapun.”

Menteri Luar Negeri (Menlu) AS Antony Blinken pada Kamis (21/3) menegaskan pernyataan serupa.

“Operasi militer besar-besaran di Rafah adalah sebuah kesalahan, sesuatu yang tidak kami dukung,” kata Menlu Blinken seperti dilansir AP, seraya menambahkan serangan masif ke kota itu akan berarti lebih banyak kematian warga sipil dan memperburuk krisis kemanusiaan di Jalur Gaza.

Perang Hamas Vs Israel yang meletus pada 7 Oktober 2023, menurut otoritas kesehatan Jalur Gaza, telah menewaskan setidaknya 32.414 orang.

Berdasarkan Piagam PBB, resolusi DK PBB mengikat secara hukum bagi 193 negara anggotanya, meskipun seringkali resolusi dilanggar.

<!–nextpage–>

Hubungan Israel-AS di Ujung Tanduk?

Keputusan AS untuk tidak menggunakan hak vetonya dalam upaya menggagalkan Resolusi DK PBB 2728 (2024) yang mengusik Israel telah menandai perubahan tajam dalam konteks hubungan kedua negara. Sekalipun AS bersikeras sikap abstainnya tidak bermaksud demikian.

Pasalnya, untuk pertama kalinya sejak perang terbaru di Jalur Gaza meletus Oktober tahun lalu dan setelah memveto tiga draf resolusi sebelumnya, AS membuka jalan bagi DK PBB untuk menuntut gencatan senjata segera di Jalur Gaza melalui sikap abstainnya.

“AS memilih abstain dibandingkan memveto draf (resolusi) karena ini mencerminkan pandangan kami bahwa gencatan senjata dan pembebasan sandera harus dilakukan secara bersamaan,” terang Kirby, seperti dilansir AP.

AS memveto draf-draf resolusi gencatan senjata sebelumnya sebagian besar karena kegagalan mengaitkannya secara langsung dengan pembebasan sandera, mengutuk serangan Hamas, dan lemahnya negosiasi yang sedang berlangsung. Para pejabat AS dilaporkan meyakini bahwa gencatan senjata dan pembebasan sandera saling terkait, sementara Rusia, China, dan banyak anggota DK PBB lainnya lebih menyukai seruan gencatan senjata tanpa syarat.

Resolusi DK PBB 2728 (2024) yang disetujui pada Senin menuntut pembebasan sandera, namun tidak menjadikannya sebagai syarat gencatan senjata selama Ramadan.

Bagaimanapun, sebelum disetujui, AS sempat memainkan posisi tawarnya untuk menuntut perubahan pada satu kata yang digunakan dalam draf resolusi. Perubahan yang dimaksud adalah pergantian kata “permanen” dengan “awet” untuk menggambarkan gencatan senjata. Permanen adalah kata yang digunakan oleh Hamas dan dinilai memiliki penafsiran lebih kuat.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

- - DK PBB Setujui Resolusi Gencatan Senjata di Gaza, Hubungan Israel-AS di ujung tanduk?