4 Apr 2024 13:19 - 4 menit membaca

Serba-serbi Takjil: Sejarah, Makna dan Dalil

Bagikan

Friksi, Jakarta – Tradisi takjil yang sangat populer di bulan Ramadhan diartikan sebagai hidangan untuk berbuka puasa, terutama makanan dan minuman manis yang disantap sebelum berlanjut ke menu utama.

Sajian menu yang bervariasi mulai dari yang digoreng, direbus, gurih, manis, hingga segala jenis makanan ringan akhirnya masuk ke dalam menu takjil yang siap dilahap saat berbuka.

Banyak yang mengartikan takjil sebagai sebuah menu makanan, padahal sebenarnya hal tersebut kurang tepat.

Sejarah Takjil

Istilah takjil terdapat pada catatan milik Snouck Hurgronje dalam ‘De Atjehers’, yaitu laporannya saat mengunjungi Aceh pada tahun 1891-1892. Dalam catatan tersebut, dijelaskan penduduk Aceh telah menyiapkan menu berbuka puasa (takjil) di masjid untuk masyarakat dengan menu ie bu peudah atau bubur pedas.

Catatan lain menyebutkan, pada pertengahan abad ke-15 budaya takjil ini sudah digunakan oleh Wali Songo sebagai media dakwah untuk menyebarkan ajaran Islam di nusantara. Namun, catatan ini masih dianggap belum kuat karena tidak adanya bukti atau sumber yang relevan.

Seiring berjalannya waktu, masyarakat selalu mengadakan budaya/tradisi takjil setiap bulan Ramadhan. Masih merujuk pada laman Pemkot Surakarta, semakin berubahnya zaman olahan berupa makanan/kuliner semakin banyak, sehingga makna takjil memiliki arti yang lebih luas yaitu sebagai hidangan pembuka saat berbuka puasa.

Hingga kini, masyarakat mengenal istilah takjil sebagai menu untuk berbuka puasa yang sering ditemukan pada pasar Ramadhan atau penjual yang menjajakan dagangan berupa takjil di saat ngabuburit atau waktu menuju berbuka puasa.

Takjil juga bisa menjadi bentuk perilaku terpuji. Orang-orang yang dikaruniai rejeki yang lebih baik dapat memberikan takjil berupa makanan berbuka puasa untuk sesama umat muslim yang membutuhkan.

Makna Takjil

Mengacu pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), takjil berarti mempercepat (buka puasa). Hal ini sesuai dengan akar katanya dalam Bahasa Arab, yakni ajila atau menyegerakan. Jadi maksud Ta’jil/Takjil adalah penyegeraan membatalkan puasa dengan makanan pembuka.

Menurut tradisi, buah kurma sebagai makanan pembuka yang harus dikonsumsi terlebih dahulu karena selain manis kurma juga banyak manfaatnya. Bisa jadi, awal mula kata takjil terbentuk karena orang-orang Arab menyegerakan berbuka puasa dengan kurma. Sehingga, kurma dianggap sebagai salah satu jenis takjil, yang kemudian berkembang menjadi makanan dan minuman kecil untuk memulai berbuka puasa.

Menurut KBBI, iftar adalah kata benda yang berarti hal berbuka puasa. Usai azan Magrib di bulan Ramadan, kaum muslim membatalkan puasanya dengan bersantap malam. Terlihat bahwa sudah terjadi pergeseran makna dalam penggunaan kata takjil. Lebih tepat jika istilah yang digunakan adalah menu utama (iftar).

Istilah takjil merujuk pada sebuah hadits Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, yang bunyinya “Manusia masih terhitung dalam kebaikan selama ia menyegerakan (Ajjalu) berbuka”.

Dalam bahasa Arab, ‘ajjalu’ yang berarti ‘menyegerakan’ setara dengan kata ‘ajjala-yu’ajjilu-ta’jilan’ yang artinya ‘momentum’, ‘tergesa-gesa’, ‘menyegerakan’, atau ‘mempercepat’. Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), takjil berarti ‘mempercepat’ untuk segera berbuka puasa, makanan dan minuman untuk berbuka puasa.

Dalil Takjil

Menurut tulisan Sule Subaweh bertajuk “Menilik Budaya Takjil di Bulan Puasa” yang dimuat dalam website Universitas Ahmad Dahlan (UAD) Yogyakarta, salah satu dalil yang melatarbelakangi adanya ibadah sedekah dalam bentuk takjil adalah hadis sebagai berikut:

“Barang siapa yang memberi buka orang yang berpuasa, niscaya dia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang berpuasa tersebut, tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa tersebut sama sekali.” (Hadis Riwayat Tirmidzi dan Ibnu Majah).

Selain itu, anjuran berbagi takjil juga diperkuat oleh hadis lain dalam suatu riwayat sebagai berikut:

Kepada seorang sahabat, Nabi Muhammad SAW pernah berkata: “Sesungguhnya di surga terdapat kamar-kamar yang mana bagian luarnya terlihat dari bagian dalam dan bagian dalamnya terlihat dari bagian luarnya.”

Sang sahabat kemudian bertanya kepada Nabi Muhammad SAW: “Bagi siapakah kamar-kamar itu diperuntukkan, wahai Rasulullah?”

Rasulullah menjawab: “Untuk orang yang berkata benar, yang memberi makan, dan yang senantiasa berpuasa dan shalat pada malam hari di waktu manusia pada tidur.” (HR. Tirmidzi).

Sedangkan dalam Hadis Riwayat Darimi dan Abu Ya’la disebutkan bahwa:

“Sesungguhnya orang yang berpuasa jika dia berbuka pada seseorang, maka malaikat akan mendo’akan orang tersebut hingga orang yang berpuasa tersebut selesai hajatnya, atau sampai menyelesaikan makanannya.” (HR Darimi dan Abu Ya’la dengan Isnad Jayid).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

- - - Serba-serbi Takjil: Sejarah, Makna dan Dalil